PENGHAPUSAN MEREK TERDAFTAR PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS NOMOR 20 TAHUN 2016

Penulis: Yanto Jaya,S.H

Jakarta—Setiap perusahaan sudah di pastikan memiliki merek sebagai tanda pengenal yang membedakannya dari yang lain. Merek ini melambangkan kualitas produk atau jasa dan melindungi pemiliknya dari persaingan tidak sehat. Di Indonesia, merek dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pendaftaran merek memberikan pemiliknya perlindungan hukum, dengan sertifikat merek sebagai bukti hak atas merek tersebut. Pemilik merek dapat mencegah penggunaan mereknya tanpa izin melalui perjanjian lisensi. Jika terjadi sengketa merek, Pengadilan Niaga bisa menjadi wadah untuk mengajukan gugatan penghapusan merek terdaftar. Penghapusan bisa dilakukan oleh pemilik merek, Menteri, atau pihak ketiga yang berkepentingan, terutama jika merek tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut. Namun, terdapat ketidakjelasan mengenai kualifikasi pihak ketiga yang dapat mengajukan gugatan, menyebabkan kebingungan dalam penerapan hukum tersebut.

Penghapusan merek terdaftar pasca berlakunya Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis Nomor 20 Tahun 2016 adalah langkah yang penting untuk memastikan bahwa merek-merek yang tidak aktif digunakan dalam perdagangan barang dan/atau jasa dapat dikeluarkan dari daftar merek yang terdaftar. Opini tentang penghapusan ini dapat bervariasi tergantung pada perspektif yang diambil.

Beberapa orang mungkin menganggap penghapusan merek terdaftar sebagai langkah yang positif untuk mendorong pemilik merek agar benar-benar menggunakan merek mereka dalam perdagangan. Hal ini dapat membantu mencegah akumulasi merek yang tidak aktif yang mempersempit ruang lingkup merek yang tersedia untuk digunakan oleh pihak lain. Dengan demikian, penghapusan dapat meningkatkan efisiensi dalam pendaftaran merek dan memungkinkan merek yang aktif digunakan mendapatkan perlindungan yang lebih baik.

Namun, di sisi lain, beberapa orang mungkin khawatir bahwa penghapusan ini dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pemilik merek, terutama jika merek mereka tidak secara aktif digunakan dalam perdagangan tetapi tetap memiliki nilai strategis di masa depan. Selain itu, proses penghapusan merek juga dapat melibatkan biaya dan waktu yang signifikan bagi pemilik merek, terutama jika mereka harus memperjuangkan keberatan mereka dalam persidangan.

Secara keseluruhan, pendapat tentang penghapusan merek terdaftar setelah berlakunya Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis Nomor 20 Tahun 2016 dapat bervariasi tergantung pada perspektif hukum, ekonomi, dan bisnis yang diambil. Yang pasti, hal ini mencerminkan upaya untuk memastikan bahwa merek-merek yang terdaftar benar-benar aktif digunakan dalam perdagangan dan memberikan perlindungan yang adil bagi pemilik merek yang berusaha untuk menjaga merek mereka relevan dan berharga.

Gugatan penghapusan merek bisa dilakukan oleh pemilik merek atau kuasanya atas sebagian atau seluruh jenis barang/jasa kepada Menteri. Jika merek masih terikat lisensi, penghapusan hanya mungkin dengan persetujuan tertulis penerima lisensi, kecuali dikecualikan dalam perjanjian lisensi. Menteri juga dapat mengusulkan penghapusan jika merek tersebut melanggar aturan tertentu atau memiliki kesamaan dengan aspek lain seperti indikasi geografis atau ekspresi budaya. Namun, rekomendasi dari Komisi Banding Merek diperlukan. Pihak ketiga yang berkepentingan juga dapat mengajukan penghapusan jika merek tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut.

Penghapusan merek terdaftar dapat dilakukan oleh pemilik merek atau kuasanya dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri, baik untuk sebagian maupun seluruh jenis barang/jasa. Permohonan ini kemudian dicatat dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Jika merek masih terikat lisensi, penghapusan hanya bisa dilakukan jika penerima lisensi menyetujui secara tertulis, yang bisa terjadi jika penerima lisensi dengan jelas menyetujui untuk mengesampingkan persetujuan tersebut.

Pasal 72 ayat (6) dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) menyatakan bahwa penghapusan merek terdaftar dapat dilakukan atas prakarsa Menteri. Selanjutnya, ayat (7) menjelaskan bahwa penghapusan tersebut bisa dilakukan jika merek tersebut memiliki kesamaan dengan indikasi geografis, bertentangan dengan nilai-nilai negara atau aturan hukum, atau mirip dengan ekspresi budaya tradisional atau nama/logo turun temurun.

Dalam hal penghapusan merek terdaftar atas prakarsa Menteri, prosesnya memerlukan rekomendasi dari Komisi Banding Merek, atas permintaan terlebih dahulu dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Pemilik merek dapat mengajukan keberatan terhadap penghapusan tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam kasus yang terjadi mengenai gugat merek yang dilakukan oleh PT. Ayam Geprek Benny Sujono, dkk. telah mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan tersebut. Namun, dalam proses tersebut, perlu memperhatikan syarat formal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Maka, jika Menteri/Komisi Banding merekomendasikan penghapusan merek ‘I Am Geprek Bensu’ milik PT. Ayam Geprek Benny Sujono, dkk., hal yang sama seharusnya juga dilakukan pada merek ‘Geprek Bensu’ milik Ruben Onsu, mengingat asas Equity Before the Law. Dalam konteks ini, putusan Pengadilan Niaga yang memerintahkan pencoretan merek ‘Geprek Bensu’ milik Ruben Onsu menjadi pertimbangan penting. Majelis Hakim TUN Jakarta dalam putusannya membatalkan penghapusan merek ‘I Am Geprek Bensu + Lukisan’ dengan pertimbangan bahwa merek tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan telah diuji oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI melalui putusan kasasi.

Pasal 74 UU Merek dan Indikasi Geografis (MDIG) mengatur bahwa pihak ketiga dapat mengajukan penghapusan merek terdaftar jika merek tersebut tidak digunakan selama lebih dari tiga tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir. Meskipun definisi pemakaian terakhir tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Pasal 74, dapat merujuk pada penjelasan Pasal 61 ayat (2) huruf a UU tentang Merek Lama, yang menyebutkan bahwa pemakaian terakhir adalah penggunaan merek dalam produksi barang atau jasa yang diperdagangkan, dihitung dari tanggal terakhir pemakaian, meskipun barang masih beredar di masyarakat setelah itu. Pihak ketiga yang berkepentingan dalam konteks ini merujuk pada siapa pun yang dirugikan jika merek yang terdaftar tidak digunakan, sesuai dengan penafsiran dalam buku karya M. Yahya Harahap. Prinsip hukum yang berlaku menunjukkan bahwa hak atas merek tidak hanya bersifat formal terdaftar, tetapi harus digunakan secara nyata dalam perdagangan barang/jasa. Pasal 1 angka 5 UU MDIG menegaskan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek terdaftar untuk menggunakan mereknya sendiri atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Selain melindungi kepentingan pemohon yang memiliki itikad baik, prinsip merek terdaftar juga dimaksudkan untuk mencegah pengajuan pendaftaran yang bertujuan menghalangi pihak lain untuk menggunakan merek dalam perdagangan barang dan/atau jasa. “Pemakaian terakhir” atau “penggunaan terakhir” tidak diatur secara spesifik dalam UU Merek DIG No. 20 Tahun 2016, namun menurut Prof. Rahmi Jened, seharusnya dihitung dari tiga tahun sejak pemakaian terakhir merek dalam perdagangan. Pembuktian mengenai “pemakaian terakhir” atau “penggunaan terakhir” diserahkan kepada praktek peradilan, dan dalam beberapa putusan, Mahkamah Agung RI mensyaratkan bahwa gugatan penghapusan harus disertai dengan survey dari lembaga survey yang valid dan dapat dipercaya. Misalnya, dalam Putusan No. 646 K/Pdt.Sus-HKI/2021, Mahkamah Agung mensyaratkan pembuktian tidak adanya penggunaan merek tersebut selama tiga tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa dengan survey dari lembaga yang valid dan dapat dipercaya.

Penggugat perlu mendukung dalilnya dengan bukti dan hasil investigasi berupa survey yang menunjukkan bahwa merek tersebut tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa, baik sejak tanggal pendaftaran maupun pemakaian terakhir, dari beberapa kota di Indonesia. Kehadiran lembaga survei seperti PT. Integrity Indonesia dapat membantu pihak yang ingin mengajukan gugatan penghapusan dengan menyediakan layanan investigasi dan pemantauan produk. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan yang mengacu pada hasil survei dari lembaga seperti PT. Integrity Indonesia.

Gugatan penghapusan merek terdaftar dapat diajukan oleh pemilik merek, Menteri, dan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dapat mengajukan gugatan haruslah memiliki kepentingan langsung yang diakui secara hukum dan beritikad baik. Mereka juga harus dapat membuktikan bahwa gugatan mereka bertujuan untuk menjaga kondisi persaingan yang sehat dan tidak menyesatkan konsumen.(www.medconas.com)