Masa Depan Fintech dan POJK Nomor 77/POJK.01/2016: Ekonomi Kian Melesat atau Justru Terhambat?

Penulis: Artur Daley, B.Com

Jakarta-Dalam beberapa tahun terakhir, fintech di indonesia telah mengalami pertumbuhan pesat yang mencerminkan transformasi signifikan dalam industri keuangan.

Adopsi teknologi digital terus meningkat. Penetrasi internet juga semakin luas. Keduanya menjadi pendorong utama perkembangan fintech di tanah air.

Perkembangan fintech pada akhirnya membawa dampak besar dalam beberapa aspek.

Perkembangan fintech yang masif membuka akses ke layanan keuangan bagi segmen masyarakat yang sebelumnya sulit dijangkau oleh lembaga keuangan tradisional.

Fintech juga telah memberi solusi inovatif untuk konsumen dan bisnis, seperti layanan pembayaran digital, pinjaman online, investasi peer-to-peer (P2P lending), dan asuransi mikro.

Selain itu, banyak tren kolaborasi antara pelaku fintech dengan lembaga keuangan tradisional, baik dalam bentuk kemitraan, investasi, atau akuisisi.

Hal ini menciptakan sinergi antara inovasi teknologi dan keahlian serta infrastruktur yang dimiliki oleh lembaga keuangan konvensional.

Meskipun memberikan manfaat yang besar, perkembangan fintech juga dihadapkan pada berbagai tantangan dan risiko.

Mulai dari masalah perlindungan konsumen, keamanan data, risiko kredit, hingga ketidakpastian regulasi.

Perkembangan fintech di Indonesia mencerminkan perubahan besar dalam cara layanan keuangan disediakan dan diakses.

Dengan terus mengatasi tantangan dan merespons perubahan regulasi, fintech memiliki potensi besar untuk terus menjadi motor penggerak inklusi keuangan dan pertumbuhaninvestasi.

Pemerintah Indonesia telah merespons perkembangan fintech dengan mengeluarkan sejumlah regulasi.

Muara tujuannya untuk melindungi konsumen, mendorong inovasi yang bertanggung jawab, serta memastikan stabilitas sektor keuangan.

Regulasi khusus telah dikeluarkan untuk mengatur sektor-sektor tertentu, seperti P2P lending dan payment gateway.

Yang menjadi fokus perbincangan kali ini adalah salah satu peraturan yang sudah dikembangkan dan diterapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Regulasi tersebut yakni Peraturan OJK (PJOK) nomor 77/POJK.01/2016.

POJK ini menerapkan beberapa pilar peraturan untuk mengarahkan perusahaan-perusahaan yang ingin mendalami dunia fintech, baik itu untuk pinjaman pribadi atau untuk bisnis.

Batas Maksimum Pinjaman

POJK menetapkan batas maksimum pinjaman yang dapat diberikan oleh LJK (Lembaga Jasa Keuangan) kepada pihak-pihak tertentu.

Batas ini dapat berupa batas absolut dalam jumlah rupiah atau dalam proporsi tertentu dari modal atau aset bank.

Sebagai contoh, batas maksimum pinjaman kepada satu pihak atau kelompok terkait mungkin tidak boleh melebihi 25 persen dari modal inti bank (minimal 8 kali modal inti bank), atau jumlah tertentu sesuai keputusan manajemen bank.

Peraturan ini menjadi dasar batas pinjaman di dunia fintech, di mana nasabah fintech tidak boleh meminjam di atas limit Rp 2 miliar untuk setiap nasabah.

Perhitungan Limit Pinjaman

POJK ini juga mengatur prosedur dan metode perhitungan limit pinjaman yang harus diikuti oleh LJK.

Ini termasuk penilaian kredit secara menyeluruh terhadap peminjam, termasuk analisis kelayakan bisnis, kapasitas pembayaran, dan kecukupan jaminan yang diberikan.

Langkah ini adalah prosedur yang sangat penting untuk memastikan sebaik-baiknya kualitas nasabah peminjam untuk mengamankan investasi peminjam yang menggunakan sarana fintech.

Jenis-Jenis Pinjaman

POJK mengklasifikasikan pinjaman berdasarkan jenisnya, seperti pinjaman konsumsi, pinjaman modal kerja, atau pinjaman investasi.

Setiap jenis pinjaman dapat memiliki batas maksimum yang berbeda sesuai dengan risiko yang terkait.

Pengendalian Risiko Kredit

POJK mendorong LJK untuk mengimplementasikan sistem pengendalian risiko kredit yang efektif, termasuk prosedur pemantauan dan evaluasi berkala terhadap portofolio pinjaman.

Ini mencakup pemantauan terhadap kualitas aset, pengelolaan kredit bermasalah, dan penyesuaian strategi risiko sesuai kebutuhan dan sejarah nasabah peminjam.

Prosedur Penyaluran Pinjaman

POJK mengatur prosedur yang harus diikuti oleh LJK dalam penyaluran pinjaman, termasuk proses analisis kredit, persetujuan pinjaman, pembuatan perjanjian kredit, dan pencairan dana.

Semua prosedur ini harus sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk meregulasi dan memastikan legitimasi LJK fintech.

Setelah berakhirnya pandemi Covid-19 di tahun 2023, perusahaan-perusahaan di seluruh Indonesia kini mengalami lonjakan kebutuhan yang besar akan pinjaman untuk mendukung upaya pemulihan dan ekspansi bisnis mereka.

Bisnis akan membutuhkan modal kerja untuk mengatasi tantangan arus kas yang dialami selama pandemi.

Modal ini akan penting untuk mengisi kembali persediaan, membayar biaya operasional, mengelola kebutuhan arus kas sehari-hari dan juga untuk mengakomodasikan  permintaan yang meningkat.

Beberapa perusahaan juga akan mengidentifikasi peluang untuk ekspansi atau diversifikasi pasca-Covid-19.

Hal ini akan melibatkan peningkatan kapasitas produksi, masuk ke pasar baru, berinvestasi dalam kemajuan teknologi, atau mengakuisisi pesaing.

Untuk mendanai inisiatif ekspansi ini, bisnis akan mencari akses ke opsi pembiayaan jangka menengah hingga panjang seperti pinjaman berjangka atau modal ventura.

Selain itu, perusahaan mungkin ingin melakukan restrukturisasi utang mereka pasca-pandemi untuk mengelola jadwal pembayaran, mengurangi biaya bunga, atau mendapatkan syarat pinjaman yang lebih menguntungkan.

Restrukturisasi utang ini akan memungkinkan perusahaan untuk mengurangi tekanan keuangan dan mengoptimalkan sumber daya keuangannya untuk pertumbuhan dan pengembangan.

Pandemi telah mempercepat aspek globalisasi yang sangat penting yaitu adopsi teknologi digital di berbagai industri.

Perusahaan akan mencari pembiayaan untuk berinvestasi dalam meningkatkan infrastruktur teknologi mereka, menerapkan platform e-commerce, mendigitalisasi proses, atau meningkatkan langkah-langkah keamanan siber untuk tetap kompetitif dalam lanskap bisnis yang berkembang menuju era digitalisasi.

Selain itu, pentingnya membangun kemampuan ketahanan dan manajemen risiko di dalam bisnis telah ditekankan oleh krisis Covid-19.

Perusahaan mungkin memerlukan pembiayaan untuk berinvestasi dalam perlindungan asuransi, rencana pemulihan bencana, diversifikasi rantai pasokan, atau inisiatif keberlanjutan untuk mengurangi risiko terhadap operasi mereka.

Investasi dalam pengembangan modal manusia juga akan menjadi kunci bagi perusahaan untuk beradaptasi dengan dinamika pasar yang berubah dan tetap kompetitif.

Bisnis mungkin akan mencari pembiayaan untuk program pelatihan karyawan, upaya rekrutmen, inisiatif retensi bakat, dan menerapkan pola kerja fleksibel untuk menarik dan mempertahankan pekerja terampil di era pasca-pandemi.

Kebutuhan keuangan perusahaan di Indonesia untuk pinjaman pasca-Covid-19 akan beragam dan kompleks.

Akses ke opsi pembiayaan yang terjangkau dan fleksibel seperti fintech akan menjadi sangat penting untuk mendukung pemulihan dan pertumbuhan bisnis saat mereka menavigasi transisi ke ekonomi pasca-pandemi.

Maka itu sangat penting untuk membedakan peraturan di antara fintech pinjaman untuk perorangan dan untuk bisnis.

Dengan keterbatasan yang diberlakukan oleh POJK 77/POJK.01/2016, di mana peraturan tersebut tidak membedakan sifat dari beragam perbedaan tipe fintech, akan menjadi suatu penghambat yang sangat besar jika perusahaan ingin menggunakan jasa dan sarana fintech sebagai alternatif untuk meminjam dikarenakan limitasi limit pinjaman yang diperbolehkan yaitu limit pinjaman sebesar Rp 2 Miliar untuk setiap nasabah.

Jumlah ini mungkin sangat cukup untuk tujuan pinjaman pribadi dan konsumsi perorangan, tetapi tidak akan cukup untuk mendukung usaha-usaha pemulihan, stabilisasi dan perkembangan bisnis di masa pasca-Covid-19 sekarang yang akan membutuhkan support jauh lebih banyak karena beberapa alasan yang sudah dibahas sebelumnya.

Dengan perkembangan situasi ekonomi di Indonesia yang memberikan fokus kepada pemulihan bisnis, sekarang adalah waktunya untuk mengajukan perubahan terhadap aturan aturan yang dibuat hampir satu dekade yang lalu dengan iklim ekonomi yang sangat berbeda.(https://radarmadiun.jawapos.com)