Apakah Gereja Bisa Dipidana Bila Diduga Melakukan Kekerasan Seksual?
Penulis: Fransisca Tri Susanti Koban,S.H
Jakarta—Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mempertanyakan: “UU TPKS itu sebenarnya cukup progresif. Salah satu pasal mengarah pada Korporasi. Korporasi bisa “diruntuhkan” bila diduga melakukan kekerasan seksual. Pertanyaannya adalah, apakah lembaga agama bisa dikatakan korporasi?”
Pertanyaan di atas bisa jadi menjadi pertanyaan banyak orang awam yang tidak paham tentang hukum. Bahkan bisa jadi muncul pertanyaan lain. Apakah Gereja bisa dipidana bila diduga melakukan kekerasan seksual? Bukankah yang bisa dipidana adalah orang sebagai individu? Saya mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Selama ini, pemidanaan secara umum dipahami hanya berlaku kepada “orang” sebagai individu. Meskipun definisi “orang” secara hukum sebagai subyek hukum bukan hanya sebagai individu tetapi juga badan hukum.
Dalam ketentuan umum UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tercantum definisi :
- Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
- Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Tindak Pidana Korporasi dalam UU Khusus
Tindak Pidana terkait Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) dan Kekerasan terhadap Anak (KtA) yang dilakukan Korporasi, salah satunya diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan UU Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 90 UU Nomor 23 Tahun 2002, mengatur:
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh Korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau Korporasinya.
(2) Pidana yang dijatuhkan kepada Korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ketentuan dalam ayat (1) tersebut mengatur bahwa pidana penjara diterapkan kepada pengurus dan pada ayat (2) pidana yang diterapkan kepada Korporasi adalah pidana dengan yang ditambah 1/3 dari pidana denda yang dijatuhkan, sehingga tindak pidana denda untuk Korporasi terdapat pemberatan 1/3.
Pemidanaan Korporasi di dalam UU TPKS, diatur dalam Pasal 18 sebagai berikut:
(1) Korporasi yang melakukan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.0000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
(2) Dalam hal Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilakukan oleh Korporasi, pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemberi perintah, pemegang kendali, pemilik manfaat Korporasi, dan/ atau Korporasi.
(3) Selain pidana denda, hakim juga menetapkan besarnya Restitusi pelaku Korporasi.
(4) Terhadap Korporasi dapat juga dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. perampasan keuntungan dan/ atau harta kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
b. pencabutan izin tertentu;
Pidananya berupa:
a. Denda minimal (lima miliar) dan maksimal (lima belas miliar)
b. Penetapan Restitusi (sebagai hak korban atas ganti kerugian)
c. Pidana tambahan
GEREJA adalah BADAN HUKUM berdasarkan Staatsblad 1927 N0.156, yang ditetapkan pada tanggal 29 Juni 1925, tentang Regeling van de Rechpositie der Kerkgenootschappen (Peraturan Kedudukan Hukum Perkumpulan Gereja).
Dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa Gereja atau Perkumpulan Gereja, termasuk bagian-bagian yang berdiri sendiri, dianggap sebagai badan hukum (Pasal 1).
Implikasi dari status gereja atau perkumpulan gereja sebagai badan hukum adalah gereja menjadi SUBJEK HUKUM, yaitu pemegang hak dan kewajiban, sehingga dianggap memiliki kedudukan yang sama dengan orang (naturlijk person).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa GEREJA sebagai KORPORASI DAPAT DIPIDANA sebagai pelaku kekerasan seksual. Pengurus Gereja memiliki tanggung jawab hukum jika Korporasinya melakukan kekerasan seksual.
Pada webinar yang diadakan oleh Purisbang dan Seksi Katekese Paroki Santo Paulus Depok dan katolikana (26/6/2020), Vikaris Judisial Keuskupan Bogor Romo RD Yohanes Driyanto mengungkapkan bahwa Gereja bukan hanya menjerat pelaku seksual tapi juga yang melindungi, dalam hal ini Uskup.
Untuk itu adanya political will dari Pejabat Gereja dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam institusinya menjadi langkah tepat agar Gereja tidak semakin jauh terjerat hukum.
“Umat Katolik adalah umat yang teratur dan taat hukum. Kami memiliki sistem tersendiri yang dapat mencegah umat Katolik melanggar hukum.” Ini adalah salah satu karakter umat Katolik yang diungkapkan Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo.
Alangkah berbahagianya umat Katolik bila para Pejabat Gerejanya bisa lebih dulu menjadi teladan dalam ketertiban dan taat hukum. Para Pejabat Gereja adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan melalui hidup doa, mati raga, dan karya pelayanan.
Bukankah semakin orang dekat dengan Tuhan, maka ia semakin lembah manah (bijaksana)? Semoga umat Katolik berani menjadi contoh bagi umat-umat yang lain untuk masalah ketertiban dan taat hukum.(www.katolikana.com)