Penulis: Kemas Muhammad Yusri, S.H., M.Si, M.Tr. Opsla
Jakarta—Sejarah Bendera Bintang Kejora sendiri pertama kali digunakan adalah pada tanggal 1 Desember 1961 dan berakhir pada tanggal 1 Oktober 1962 dimana merupakan tenggang waktu terakhir Belanda untuk menyerahkan kekuasaannya kepada UNTEA. Bendera Bintang Kejora sendiri adalah merupakan bendera yang digunakan sebagai tanda bahwa daerah tersebut masuk dalam Wilayah Nugini yang dikuasai oleh Belanda dalam hal ini yang dimaksud adalah Irian Barat atau yang sekarang telah menjadi wilayah Indonesia dan telah terbagi menjadi 6 Provinsi (Prov Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Selatan). Sehingga seharusnya Bendera Bintang Kejora itu sudah tidak pantas lagi digunakan atau diagung-agungkan oleh rakyat Papua karena Bendera tersebut adalah warisan dari Belanda (dilihat dari 3 warna dasar merah, putih dan biru yang sama dengan warna dasar bendera Belanda). Belanda yang tidak rela melepas koloninya (Irian Barat) tersebut menjadi bagian dari Indonesia, kemudian dengan kebohongannya menjanjikan kemerdekaan rakyat Irian barat saat itu serta menyetujui penggunaan Bendera Bintang Kejora tersebut. Jadi asal muasal Bendera Bintang Kejora sudahlah sangat jelas, sehingga apabila ada yang berpendapat bahwa bendera tersebut hanyalah sebagai identitas kultural rakyat Papua ataupun merupakan bendera dari kesebelasan sepakbola Persatuan Sepakbola Nafri (PSN) sangatlah tidak berdasar dan tidak realistis.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) berdiri pada tahun 1965 dan mengunakan Bendera Bintang Kejora sebagai lambang atau simbol organisasinya. OPM sendiri didirikan dengan tujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua Barat (6 Provinsi di Pulau Papua) dari Pemerintah Indonesia. Pada tanggal 29 April 2021, Pemerintah Indonesia melalui Menko Polhukam saat itu Prof. Mahfud MD secara resmi telah menetapkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai organisasi Teroris yang mengacu kepada UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. “Ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 di mana yang dikatakan teroris itu adalah siapapun orang yang mengancam, menggerakan dan mengorganisasi terorisme. Bukan hanya OPM, status teroris juga berlaku bagi mereka yag tergabung di dalamnya dan mendukung organisasi tersebut. Keputusan ini sejalan pernyataan sejumlah tokoh dan organisasi mulai dari Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, TNI, hingga MPR. Organisasi atau orang-orang yang melakukan aksi kekerasan secara masif layak disebut teroris. Apa yang dilakukan KKB dan segala nama organisasinya dan orang-orang yang berafiliasi dengannya adalah tindakan teroris.” Dengan dasar penetapan OPM sebagai organisasi teroris maka secara otomatis status OPM merupakan organisasi terlarang yang tidak boleh ada lagi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan penetapan pemerintah tersebut seharusnya bukan hanya organisasi OPM nya saja yang dilarang tetapi Bendera Bintang Kejoranya pun harusnya sudah tidak boleh lagi digunakan dalam atribut sehari-hari masyarakat (Topi, Kaos, Tas, Gelang dll), apabila masih ada masyarakat yang menggunakan atribut Bendera Bintang Kejora maka seharusnya sudah dianggap sebagai simpatisan organisasi terlarang OPM atau artinya sebagai simpatisan Teroris dan harus ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.
Organisasi terlarang adalah organisasi yang sudah dicabut status badan hukumnya (yang berakibat pada larangan aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh organisasi tersebut) oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas maka OPM telah dimasukan sebagai organisasi terlarang oleh Pemerintah Indonesia maka OPM tidak boleh lagi beraktivitas di Indonesia dan Bendera Bintang Kejora secara otomatis juga tidak boleh lagi digunakan sebagai atribut apapun juga. Terkait organisasi terlarang ini kami mencoba membandingkan 2 (dua) organisasi lainnya yang juga memiliki Bendera/Panji-Panji/Logo yang telah ditetapkan dan dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia. Organisasi terlarang pertama adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan Bendera yang identik selalu digunakan dalam setiap kegiatan HTI adalah Al Liwa dan Ar Roya, sejak keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 2017 yang kemudian pada tanggal 19 Juli 2017 dengan resmi Pemerintah telah melarang organisasi HTI beraktivitas di Indonesia. Organisasi terlarang kedua adalah Front Pembela Islam (FPI) dengan Bendera yang identik selalu digunakan dalam setiap kegiatan FPI adalah Logo Front Pembela Islam, sejak keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) dari 6 (enam) pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga yang terdiri dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Kapolri, Jaksa Agung dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang ditetapkan pada tanggal 30 Desember 2020 dengan resmi Pemerintah telah melarang organisasi FPI beraktivitas di Indonesia.
Organisasi pertama adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan organisasi yang tujuan utamanya mewujudkan kembali kehidupan Islam dan menghidupkan kembali dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia serta mengajak kembali kaum muslimin untuk hidup secara Islam dalam naungan Khilafah Islamiayah ala minhaj al-nubbuwwah. HTI mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980 an dibawah pimpinan Abd. Rahman al-Baghdadi, HTI memiliki tujuan utamanya adalah gerakan Islam transnasional dengan mengusung pendirian serta penegakan kembali ideologi khilafah Islam melalui syariah Islam secara global sampai dengan level politik kemasyarakatan. Beberapa alasan mengapa organisasi HTI dibubarkan antara lain : (1) Sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. (2) Kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 17 Tahun 2013 tentang Ormas. (3) Aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan NKRI. Maka sejak keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada tanggal 10 Juli 2017 yang kemudian dijadikan dasar oleh Menkopolhukam untuk membubarkan HTI sejak tanggal 19 Juli 2017. Maka sejak tanggal tersebut semua atribut atau logo dari HTI pun sudah dianggap terlarang untuk digunakan. Salah satu kejadian menonjol yang terjadi setelah pembubaran HTI adalah saat terjadinya pembakaran bendera HTI di Garut pada tanggal 22 Oktober 2018, pembakaran itu dilakukan oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) pada saat peringatan hari santri di alun-alun Limbangan Garut. Kejadian ini menggambarkan bahwa masyarakat yang telah mengetahui bahwa HTI telah dibubarkan Pemerintah dan statusnya sebagai organisasi terlarang, maka disaat ada atribut dari HTI yang masih digunakan oleh simpatisannya akan membuat masyarakat marah dan membakarnya.
Organisasi kedua adalah Front Pembela Islam (FPI) yang merupakan organisasi yang tujuan utamanya menegakkan hukum Islam di negara sekuler serta menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amur Ma’ruf dan Nahi Munkar disetiap aspek kehidupan. FPI didirikan pada tahun 1998 oleh Muhammad Rizieq Shihab, latar belakang pendiriannya adalah (1) Adanya penderitaan panjang umat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yag dilakukan oleh oknum penguasa. (2) Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. (3) Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam. Kemudian beberapa alasan mengapa organisasi FPI dibubarkan antara lain : (1) Menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yaitu Pancasila, UUD RI 1945, keutuhan MKRI dan Bhineka Tunggal Ika. (2) Isi anggaran dasar FPI bertentangan dengan Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas sebagaimana telah diubah dengn UU Nomor 16 tahun 2017 tentang penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas menjadi UU. (3) Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/IV/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang surat keterangan terdaftar atau SKT FPI sebagai ormas, berlaku sampai tanggal 20 Juni 2019 dan sampai saat ini FPI belum memenuhi pesyaratan untuk memperpanjang SKT tersebut, secara de jure terhitung mulai 21 Juni 2019 dianggap bubar. (4) Kegiatan FPI telah bertentangan berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2017. (5) Pengurus dan atau anggota FPI maupun yang pernah bergabung dengan FPI berdasarkan data sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana tertentu (tipiter) dan 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana. Selain itu 206 orang terlibat berbagai tindka pidana umum lainnya dan 100 orang telah dijatuhi pidana. (6) Jika menurut penilaian atau dugaannya sendiri terjadi pelanggaran ketentuan hukum, maka pengurus dan atau anggota FPI kerap kali melakukan berbagai tindakan razia atau sweepin di tengah masyarakat, yang sebenarnya hal tersebut menjadi tugas dan wewenang aparat penegak hukum. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas maka sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) dari 6 (enam) pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga pada tanggal 30 Desember 2020, sehingga sejak tanggal tersebut semua atribut atau logo dari FPI pun sudah dianggap terlarang untuk digunakan. Salah satu kejadian menonjol yang terjadi setelah pembubaran FPI adalah saat terjadinya pencopotan atribut FPI di markas FPI Petamburan Jakarta Pusat pada tanggal 30 Desember 2020, pelepasan atribut FPI itu dilakukan oleh personel Polri dan TNI. Kejadian ini menggambarkan bahwa aparat penegak hukum secara otomatis bisa langsung bereaksi untuk menertibkan atau mencopot setiap atribut dari FPI, karena setelah keluarnya SKB 6 pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga yang telah menetapkan status organisasi terlarang kepada FPI, maka disaat itu juga semua atribut dari FPI sudah tidak boleh digunakan lagi.
Setelah memperhatikan perlakuan terhadap bendera ataupun atribut dari HTI dan FPI yang telah ditetapkan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah, maka kita akan menemukan realita yang berbeda dan bertolak belakang dengan perlakuan terhadap Bendera Bintang Kejora dari organisasi terlarang OPM. Memang masih adanya argumentasi dari masyarakat Papua terkait Bendera Bintang Kejora bukanlah simbol dari OPM tetapi merupakan simbol atau lambang kultural masyarakat Papua. Pendapat ini berdasarkan dari Pasal 21 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang tertulis “Provinsi papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan”. Sehingga masyarakat Papua menyatakan bahwa Bendera Bintang Kejora tersebut adalah merupakan simbol kultural masyarakat Papua.
Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Pada Pasal 6 ayat (4) tesebut tertulis “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai kesamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian di penjelasan dari Pasal 6 ayat (4) tersebut tertulis “yang dimaksud dengan desain log dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku”. Dengan dasar inilah kemudian seharusnya aparat penegak hukum dapat bertindak tegas untuk melarang penggunaan setiap macam atribut yang bergambar Bendera Bintang Kejora di Republik ini.
Apakah benar Bendera Bintang Kejora merupakan simbol dari OPM ? Berdasarkan fakta di lapangan Bendera tersebut sering didapati di personel OPM yang tertangkap dimarkasnya ataupun personel OPM yang terbunuh saat terjadi kontak dengan TNI/Polri. Banyaknya dokumentasi yang beredar di media sosial juga memperlihatkan OPM melaksanakan upacara bendera dengan menaikan Bendera Bintang Kejora. Dengan bukti-bukti tersebut sudah dapat dipastikan bahwa Bendera Bintang Kejora memang dipakai sebagai simbol oleh organisasi terlarang OPM.
Dengan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bendera Bintang Kejora adalah bendera atau simbol dari organisasi terlarang OPM, oleh karena statusnya sebagai organisasi terlarang maka sudah semestinya semua simbol yang menjadi ciri khas organisasi OPM harus dilarang penggunaannya. Aparat penegak hukum harus berani untuk menindak tegas masyarakat khususnya warga Papua yang masih menggunakan simbol Bendera Bintang Kejora tersebut karena kredibilitas Pemerintah dipertaruhkan disini.(www.kompasiana.com)